yang terpenting mengenalkan Indonesia sebagai negara berideologi Pancasila dan memiliki "wajah" moderat dalam beragama.Jakarta (ANTARA) - Waktu menunjukkan pukul 17.00 di Tunisia, warga sudah mulai terlihat memenuhi kursi-kursi di kafe sepanjang Jalan Avenue Habib Bourguiba, bercengkerama di tengah suhu sekitar 41 derajat celcius.
Bagi warga Tunisia, saat musim panas dengan suhu bisa mencapai 54 derajat celcius pada bulan Juni -- September, keluar rumah mulai pukul 17.00 adalah waktu yang tepat karena suhu sudah tidak terlalu panas dan sinar Matahari tidak terik.
Ketika suhu tidak terlalu panas, maka tiba waktunya bagi warga Tunisia untuk keluar rumah, bercengkerama bersama keluarga maupun kolega. Pemandangan khas tersebut dapat terlihat di Jalan Avenue Habib Bourguiba karena sepanjang jalan tersebut terdapat kafe yang menyediakan berbagai minuman ringan dan makan.
Jika berjalan ke sebelah barat Jalan Avenue Habib Bourguiba, akan ditemui patung Ibnu Khaldun, tokoh intelektual Tunisia dan penulis buku Mukkadimah yang karyanya masyhur hingga sekarang.
Jalan Avenue Habib Bourguiba diambil dari nama sosok tokoh proklamator dan Presiden pertama Tunisia yaitu Habib Bourguiba yang memimpin negeri tersebut dari tahun 1957 -- 1987.
Bourguiba menjadi tokoh sentral lahirnya revolusi Tunisia untuk merdeka dari Prancis. Untuk mencapai tujuan bangsanya tersebut, Bourguiba menggalang solidaritas dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang saat itu dipimpin Soekarno.
Bourguiba tahu bahwa Soekarno memiliki gagasan spektakuler untuk menghapuskan penjajahan dan imperalisme, khususnya di wilayah Asia dan Afrika.
Dari sisi sejarah, Indonesia dan Tunisia ternyata memiliki hubungan sangat erat yang terjalin sejak sebelum kemerdekaan Tunisia.
Hubungan erat kedua negara tersebut bermula dari persahabatan Soekarno dan Habib Bourgaiba. Soekarno proklamator kemerdekaan Indonesia dan Habib Bourgaiba pun proklamator kemerdekaan Tunisia.
Duta Besar Indonesia untuk Tunisia Zuhairi Misrawi menceritakan bahwa tahun 1951, Habib Bourgaiba berkunjung ke Indonesia atas undangan Soekarno untuk membincangkan perihal gerakan kemerdekaan Tunisia, yang saat itu masih dijajah Prancis.
Soekarno mempunyai pengaruh dan jaringan internasional yang kuat dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika sehingga menjadi inspirasi bagi perlawanan terhadap imperialisme dan jalan menuju kemerdekaan.
Konsistensi Indonesia dalam melawan kolonialisme dan imperialisme dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, mengantarkan Tunisia meraih kemerdekaannya pada 1956.
Persahabatan dua proklamator itu pun tetap berlanjut. Setelah Tunisia merdeka pada 1956, Habib Bourgaiba mengundang Soekarno berkunjung ke negara tersebut dan tahun 1960 Soekarno memenuhi undangan tersebut.
Persahabatan Soekarno-Habib Bourgaiba tersebut menjadi fondasi kokoh hubungan baik Indonesia-Tunisia yang memang harus terus dikembangkan untuk kemajuan dua negara.
Safwan M. Masri dalam bukunya berjudul "Tunisia An Arab Anomaly" menyebutkan bahwa Bourguiba percaya masa depan Tunisia menjadi lebih baik apabila berorientasi ke Barat sehingga di bawah kepemimpinannya, negara tersebut menjadi anggota Komunitas Ekonomi Eropa pada tahun 1969. Namun pada akhirnya, Bourguiba dipersalahkan atas ketergantungan perdagangan Tunisia kepada Eropa.
Di bawah kepemimpinan Bourguiba, perempuan Tunisia mendapatkan "angin segar" dalam dunia politik yaitu menjamin hak memilih dan ikut dalam kontestasi pemilu negara itu pada tahun 1957. Langkah itu jauh dilakukan sebelum negara-negara Arab melakukan hal yang sama.
Dua negara poskolonial
Indonesia-Tunisa ternyata sama-sama memiliki sejarah panjang dalam proses mewujudkan sistem demokrasi di masing-masing negara. Indonesia-Tunisia sama-sama termasuk negara poskolonial, pernah dijajah bangsa lain.
Setelah kepemimpinan Bourguiba berakhir pada November 1987, Perdana Menteri Tunisia saat itu Zine al-Abidine Ben Ali mengambil alih pemerintahan. Padahal, sebulan sebelumnya, Bourguiba menunjuk Ben Ali menjadi PM Tunisia.
Bourguiba diminta turun dari posisinya karena sudah lanjut usia dan sering mengalami sakit, bahkan dia dikabarkan terkena serangan jantung dua kali yaitu tahun 1967 dan 1984.
Di tangan Ben Ali, Tunisia menjadi negara non-Eropa pertama yang menandatangani perjanjian dengan Uni Eropa pada tahun 1995. Selain itu, Ben Ali memperkenalkan kuota perempuan dalam pemilu sehingga pada tahun 2010 jumlah perempuan di parlemen sebanyak 28 persen.
Namun pada tahun 2010, dari negeri yang dijuluki Tunisia al-mahrustah, yaitu Tunisia yang dijaga para wali Allah, masyarakatnya memelopori munculnya “Arab Spring”.
Jalan Avenue Habib Bourgaiba menjadi saksi pada tahun 2010, gelombang demonstrasi memenuhi daerah tersebut menuntut turunnya Presiden saat itu Ben Ali.
Aksi bakar diri seorang penjual buah di Kota Sidi Bouzid pada 17 Desember 2010 di depan kantor polisi, menjadi pemantik gelombang protes dan membangkitkan kesadaran rakyat Tunisia terhadap ketidakadilan dan kesulitan ekonomi saat itu.
Aksi Mohamed Bouazizi (26) membakar dirinya sendiri itu sebagai wujud kemarahan setelah dagangannya disita dan ia dianiaya aparat. Aksi Bouazizi itu menjadi pemicu atau trigger aksi protes pertama di negara itu yang menuntut terjadinya revolusi.
Aksi protes tersebut berlanjut, pada 24 Desember 2010 pasukan keamanan menembakkan peluru ke arah demonstran, menyebabkan dua orang tewas. Gelombang aksi pun berlanjut, hingga akhirnya pada 14 Januari 2011, Ben Ali melarikan diri dari Tunisia, dan Perdana Menteri Mohamed Ghannouchi menggantikan Ben Ali.
Lalu pada 15 Januari 2011, Ketua DPR Tunisia Fouad Mebezaa diangkat menjadi Presiden sementara dan Ghannouchi kembali kepada posisinya yaitu Perdana Menteri.
Kesuksesan rakyat Tunisia menggulingkan kekuasaan Ben Ali menjadi inspirasi munculnya gerakan-gerakan di beberapa negara di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk menumbangkan rezim otoriter.
Beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah terjadi gelombang demonstrasi seperti Mesir, Yordania, Aljazair, Yaman, Iran, Bahrain, Suriah, dan Libya. Gelombang protes tersebut lalu dikenal masyarakat sebagai “Arab Spring” yang telah menyebabkan lengsernya Muammar Gaddafi di Libya, Hosni Mubarak di Mesir, dan Ali Abdullah Saleh di Yaman.
Di Indonesia, proses mewujudkan sistem demokrasi dimulai pada 1998 dengan ditandainya gelombang demonstrasi yang menyuarakan ketidakadilan, kesulitan ekonomi, dan kepemimpinan otoriter Soeharto.
Gelombang aksi massa tersebut menimbulkan kerusuhan di berbagai tempat yang menyebabkan korban jiwa, salah satunya tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tertembak saat melakukan demonstrasi di Jakarta pada 12 Mei 1998.
Dalam peristiwa yang terkenal dengan Tragedi Trisakti itu, empat mahasiswa Trisakti saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie meninggal ditembak aparat keamanan.
Masa depan hubungan Indonesia-Tunisia
Letak geografis Tunisia berada di ujung utara Afrika dengan luas wilayah sekitar 163.610 km2 yang dihuni penduduk sebanyak 12,4 jiwa. Posisi Tunisia yang terletak di persimpangan antara Eropa, Timur Tengah, dan Afrika memiliki sejarah dan keindahan alam.
Tunisia memiliki keunikan tersendiri dibandingkan negara Eropa, Afrika, dan Timur Tengah di sekelilingnya. Secara sejarah pemikiran, Tunisia banyak dipengaruhi Eropa karena negara tersebut pernah dijajah Prancis dan kekaisaran Romawi. Namun secara kultur, tradisi Islam masih dipegang masyarakat negara tersebut.
Dubes RI untuk Tunisia Zuhairi Misrawi menyadari sejarah Tunisia tersebut sehingga dirinya ingin mengaitkan spiritualitas dan tradisi pemikiran masyarakat Tunisia dalam cara berdiplomasi.
Zuhairi yang disapa Gus Mis tersebut menceritakan bahwa langkah pertama yang dilakukannya setelah menjadi Dubes RI untuk Tunisia adalah melakukan ziarah kubur ke makam Syekh Muhammad Thahir bin Asyur.
Langkah tersebut dikatakannya sebagai soft diplomacy dengan Tunisia dan mengingatkan kembali sejarah terkait persahabatan Soekarno dengan Habib Bourguiba.
Thahir bin Asyur adalah tokoh karismatik Tunisia yang hidup satu zaman dengan Habib Bourguiba. Thahir bin Asyur pernah menjadi Rektor Universitas Zaytunah, universitas tertua di dunia yang berdiri pada 737 M atau 120 H.
Bagi Gus Mis, Thahir bin Asyur sangat berkontribusi dalam pemikiran moderasi beragama dan bernegara. Karena itu pemikiran Thahir bin Asyur itu menjadi pijakan dalam "warna" moderasi beragama di Indonesia.
Langkah soft diplomacy itu dilakukannya sejak April 2022 dan berhasil "membuka mata" masyarakat Tunisia bahwa Indonesia sudah ada di tengah masyarakat negara itu sejak dulu, sebelum zaman kemerdekaan.
Diplomasi tersebut kemudian membuat Gus Mis banyak diundang media-media Tunisia, diajak berdiskusi terkait Indonesia dan Tunisia.
Gus Mis mengingatkan kembali kenangan tentang Bung Karno yang pernah berkunjung ke Tunisia setelah negara itu meraih kemerdekaannya. Dan, yang terpenting adalah mengenalkan Indonesia sebagai negara yang berideologi Pancasila dan memiliki "wajah" moderat dalam beragama.
Berbagai langkah itu ternyata menghasilkan dampak positif bagi Indonesia, misalnya, bebas visa bagi wisatawan Indonesia ke Tunisia, bertambahnya kuota beasiswa bagi mahasiswa Indonesia untuk masuk Universitas Zaytunah yang semula 30 orang menjadi 50 orang per tahun.
Persahabatan yang erat antara Indonesia-Tunisia, Bung Karno-Habib Bourguiba tidak boleh berhenti sampai di sini. Banyak tantangan, namun juga ada potensi kedua negara yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan dampak yang positif bagi kedua negara.
Posisi geografis dan geopolitik Indonesia-Tunisia di masing-masing kawasan seharusnya menjadi potensi, bukan hanya untuk membangkitkan kembali, melainkan membangun konsep peradaban yang lebih autentik dalam perkembangan umat manusia.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023